“Aku
merasa marah pada dunia ini, pada matahari yang masih berani bersinar saat
hidupku begitu gelap” - Michelle Moran (Selene, Putri Sang Cleopatra
/ Cleopatra’s Daughter)
Rasanya
begitu berat ketika aku harus mengetahui satu kenyataan pahit dimana aku tak
dapat membaginya kepada orang lain. Saat dimana pikiranku masih terasa belum
cukup dewasa untuk benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi. Dan seandainya
waktu dapat diputar kembali, aku akan lebih memilih untuk tidak mengetahuinya
sama sekali. Ya, setidaknya begitu lebih baik.
»
Aku
selalu menangis dalam hati ketika aku selalu di banding-bandingkan dengan
anak-anak lain. Jelas aku tak menyukainya, bagiku aku adalah diriku. Bukan
mereka, bukan orang lain, bukan siapapun. Aku tetaplah aku dan akan selalu
begitu. Aku tahu, orang tuaku pasti menginginkan yang terbaik untukku. Namun
terkadang cara yang mereka lakukan salah. Tidak benar-benar salah sebenarnya,
hanya saja tidak sesuai dengan diriku.
Hari,
minggu, bulan, tahun telah aku lewati, berusaha menjadi apa yang orang tuaku
inginkan. Meskipun aku bukan anak yang sesempurna harapan mereka, tapi aku
selalu melakukan yang terbaik untuk mereka. Aku anak yang cukup menurut, anak
yang rajin, dan termasuk anak yang pandai di sekolah. Begitulah kata
orang-orang. Namun sayangnya hal itu terkadang belum membuat orang tuaku puas.
Entah apa yang sebenarnya mereka inginkan……. Namun lebih dari perasaan kesal
apapun, aku sangat mencintai kedua orangtuaku. Tidak peduli bagaimanapun mereka
memarahiku, perasaanku tidak akan pernah berubah. Ketika dapat menikmati hidup,
dicintai dan disayangi di tengah keluarga yang utuh, bahkan itu jauh lebih dari
sekadar cukup.
»
Aku
tersiksa sendiri pada kenyataan yang selama ini selalu ku pendam. Aku bagaikan
harus menahannya sendirian, padahal segalanya begitu menyakitkan. Terkadang aku
merasa harus menceritakannya kepada orang lain. Menangis dan berteriak kepada
siapapun yang mau mendengarkanku. Tapi sepertinya itu sangat sulit.
“Aku merasa marah pada dunia ini, pada
matahari yang masih berani bersinar saat hidupku begitu gelap”. Kata-kata Michelle Moran terus kuulang
dalam benakku. Memang, aku merasa hidupku sangat gelap, seperti langit gelap
ketika badai mulai datang. Ya, badai dalam keluargaku. Tapi mengapa matahari
masih berani bersinar? Apakah ia mencoba membantu menerangiku? Atau hanya ingin
menertawakan kesedihanku? Bodoh.
Terkadang
aku merasa ingin pergi dari tempat ini. Berlari ke tempat manapun, di belahan
dunia manapun, asalkan tidak berada di tempat ini. Kini aku tahu bagaimana
perasaan anak-anak yang broken home, mengapa mereka bisa begitu liar dan
terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Jawabannya adalah….. Apa yang dapat
diharapkan dari sebuah rumah, ketika dunia luar jauh lebih memberi kebahagiaan?
Bukankah begitu?
»
Aku pernah beberapa kali mendengar orang tuaku
bertengkar, saat itu aku hanya diam saja. Karena yang aku tahu dari novel-novel
yang aku baca, orang dewasa tidak akan mau mendengarkan apa yang dikatakan
anak-anak. Yah meskipun itu tidak selalu benar. Lagipula apa yang bisa aku
katakan saat itu?
Hari ini
aku mendengar mereka bertengkar lagi. Namun berbeda dari sebelumnya, setelah
pertengkaran kali ini, satu hal yang benar-benar aku sadari, segalanya tak akan
lagi sama. Aku menangis di pojok tempat tidurku, berharap tidak pernah
mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku hanya berusaha membuat telingaku tuli,
tapi tidak benar-benar bisa melakukannya. Ketika satu kata yang tak pernah
diharapkan anak manapun akhirnya mereka ucapkan…. aku merasakan satu dorongan
kuat untuk memberanikan diri berbicara. Sambil menangis aku meminta mereka
berhenti bertengkar. Memangnya apalagi yang bisa aku lakukan? Pura-pura kabur
dari rumah seperti di sinetron? Oh, Ayolah…. aku tidak akan melakukan hal itu.
»
Beberapa
hari telah berlalu, namun kejadian itu tidak pernah hilang dari ingatanku.
Mereka tidak lagi bertengkar di depanku. Ku harap tidak juga di belakangku.
Kedua orangtuaku saling berkomunikasi seperti biasa, aku tahu ada hal yang
berbeda. Entah apa itu, tapi seperti yang aku katakan tadi…… segalanya tak lagi
sama. Tidak akan pernah sama.
Tanggal
14 Februari, hari kasih sayang. Seistimewa apa hari kasih sayang itu? Bahkan
aku sendiri tidak yakin apakah rasa kasih sayang itu masih ada dalam
keluargaku…. Masihkah? ataukah perasaan itu sudah hilang dibawa sang waktu? Aku
tidak tahu. Jika memang perasaan itu telah pergi, aku akan membawanya kembali
ke tengah keluargaku.
Di antar
oleh sahabatku, sore itu sepulang sekolah dengan perasaan senang sambil terus
berharap rencana akan berjalan lancar, aku pergi membeli bunga mawar dengan
uang saku terakhirku. Lagi-lagi hal ini kulakukan demi ‘kasih sayang’ yang kini
entah berada sejauh apa dari keluargaku… Tanpa penjelasan panjang aku meminta
ayah untuk memberikan bunga itu kepada ibu, namun saat itu juga ibuku masuk ke
dalam rumah. Tidak ingin membuat ibu curiga, aku berikan bunga itu kepada ibu.
Seketika segenggam harapanku mulai lepas. Rencana yang kususun sejak pagi
hancur begitu saja, seharusnya tidak seperti ini segalanya berakhir. Aku
menangis di dalam kamar. Ku ambil handphone ku dan mulai mengetik pesan………
To : Ayah
Yah…
minta uang buat beli bunga lagi…… sekarang hari kasih sayang. pokoknya ayah harus
kasi bunga buat ibu…
|
||||
From : Ayah
Buat
apa beli bunga? Ndak usah kayak gitu-gituan.
|
||||
To : Ayah
Ayah
tu ya… tadi tu seharusnya ayah yang kasi bunga. Tapi ibu keburu masuk. aku
kayak gini tu biar ayah gak berantem lagi sama ibu. Aku juga capek lo yah denger
kalian berantem terus. Gak kasian apa ya sama anak-anaknya. Bunga lo cuma 5rb
yah….
|
||||
From : Ayah
Yaudah
ambil uang 100 di dompet sana. Pakek beli bunga sama martabak.
|
Ayahku luluh. Dibandingkan dengan adikku memang akulah yang paling dekat dengan ayah. Tanpa membuang waktu aku bergegas membeli bunga…. dan martabak (yang sebenarnya tidak begitu penting). Seketika harapan yang tadi hilang kini mulai tampak lagi. Meskipun sedikit canggung, ayah tetap memberikan bunga itu untuk ibu. Segalanya berjalan sesuai harapan. Tuhan memang penuh dengan kasih sayang, doaku begitu cepat dikabulkan oleh-Nya……
Betapa bahagianya aku… memang tidak banyak yang dapat
aku lakukan. Aku hanya berharap dapat mengembalikan perasaan kasih sayang itu
di tengah keluargaku. Dan untuk saat ini hal itu berhasil.
»»
Dengan
segenap hatiku aku selalu berharap Tuhan akan menjaga keluargaku tetap utuh. Segalanya
tidak hanya untuk ku, tidak hanya untuk adikku, atau untuk kedua orang tuaku.
Melainkan untuk keluarga kami….
Dengan segenap
hati pula aku berharap Tuhan akan selalu menjaga keluarga-keluarga lain di luar
sana agar tetap utuh….
Masih
dengan segenap hatiku….. tak pernah berhenti aku berharap untuk anak-anak
broken home di luar sana, agar Tuhan selalu menjaga dan melindungi kalian.
Serta mengarahkan jalan yang terbaik untuk kalian…..
»»
Akankah
melampiaskannya dengan mempertaruhkan masa depan? Atau…… Tetap menjadi anak
yang membanggakan di tengah keluarga yang berantakan? Siapa yang tahu?
»»»
(Oleh : Kiki
Ofia Lestari)