Jumat, 11 April 2014

“STORM IN MY FAMILY”




“Aku merasa marah pada dunia ini, pada matahari yang masih berani bersinar saat hidupku begitu gelap” - Michelle Moran (Selene, Putri Sang Cleopatra / Cleopatra’s Daughter)
 


Rasanya begitu berat ketika aku harus mengetahui satu kenyataan pahit dimana aku tak dapat membaginya kepada orang lain. Saat dimana pikiranku masih terasa belum cukup dewasa untuk benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi. Dan seandainya waktu dapat diputar kembali, aku akan lebih memilih untuk tidak mengetahuinya sama sekali. Ya, setidaknya begitu lebih baik.
»
Aku selalu menangis dalam hati ketika aku selalu di banding-bandingkan dengan anak-anak lain. Jelas aku tak menyukainya, bagiku aku adalah diriku. Bukan mereka, bukan orang lain, bukan siapapun. Aku tetaplah aku dan akan selalu begitu. Aku tahu, orang tuaku pasti menginginkan yang terbaik untukku. Namun terkadang cara yang mereka lakukan salah. Tidak benar-benar salah sebenarnya, hanya saja tidak sesuai dengan diriku.
Hari, minggu, bulan, tahun telah aku lewati, berusaha menjadi apa yang orang tuaku inginkan. Meskipun aku bukan anak yang sesempurna harapan mereka, tapi aku selalu melakukan yang terbaik untuk mereka. Aku anak yang cukup menurut, anak yang rajin, dan termasuk anak yang pandai di sekolah. Begitulah kata orang-orang. Namun sayangnya hal itu terkadang belum membuat orang tuaku puas. Entah apa yang sebenarnya mereka inginkan……. Namun lebih dari perasaan kesal apapun, aku sangat mencintai kedua orangtuaku. Tidak peduli bagaimanapun mereka memarahiku, perasaanku tidak akan pernah berubah. Ketika dapat menikmati hidup, dicintai dan disayangi di tengah keluarga yang utuh, bahkan itu jauh lebih dari sekadar cukup.
»
Aku tersiksa sendiri pada kenyataan yang selama ini selalu ku pendam. Aku bagaikan harus menahannya sendirian, padahal segalanya begitu menyakitkan. Terkadang aku merasa harus menceritakannya kepada orang lain. Menangis dan berteriak kepada siapapun yang mau mendengarkanku. Tapi sepertinya itu sangat sulit.
“Aku merasa marah pada dunia ini, pada matahari yang masih berani bersinar saat hidupku begitu gelap”. Kata-kata Michelle Moran terus kuulang dalam benakku. Memang, aku merasa hidupku sangat gelap, seperti langit gelap ketika badai mulai datang. Ya, badai dalam keluargaku. Tapi mengapa matahari masih berani bersinar? Apakah ia mencoba membantu menerangiku? Atau hanya ingin menertawakan kesedihanku? Bodoh.
Terkadang aku merasa ingin pergi dari tempat ini. Berlari ke tempat manapun, di belahan dunia manapun, asalkan tidak berada di tempat ini. Kini aku tahu bagaimana perasaan anak-anak yang broken home, mengapa mereka bisa begitu liar dan terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Jawabannya adalah….. Apa yang dapat diharapkan dari sebuah rumah, ketika dunia luar jauh lebih memberi kebahagiaan? Bukankah begitu?
»
 Aku pernah beberapa kali mendengar orang tuaku bertengkar, saat itu aku hanya diam saja. Karena yang aku tahu dari novel-novel yang aku baca, orang dewasa tidak akan mau mendengarkan apa yang dikatakan anak-anak. Yah meskipun itu tidak selalu benar. Lagipula apa yang bisa aku katakan saat itu?
Hari ini aku mendengar mereka bertengkar lagi. Namun berbeda dari sebelumnya, setelah pertengkaran kali ini, satu hal yang benar-benar aku sadari, segalanya tak akan lagi sama. Aku menangis di pojok tempat tidurku, berharap tidak pernah mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku hanya berusaha membuat telingaku tuli, tapi tidak benar-benar bisa melakukannya. Ketika satu kata yang tak pernah diharapkan anak manapun akhirnya mereka ucapkan…. aku merasakan satu dorongan kuat untuk memberanikan diri berbicara. Sambil menangis aku meminta mereka berhenti bertengkar. Memangnya apalagi yang bisa aku lakukan? Pura-pura kabur dari rumah seperti di sinetron? Oh, Ayolah…. aku tidak akan melakukan hal itu.
»
Beberapa hari telah berlalu, namun kejadian itu tidak pernah hilang dari ingatanku. Mereka tidak lagi bertengkar di depanku. Ku harap tidak juga di belakangku. Kedua orangtuaku saling berkomunikasi seperti biasa, aku tahu ada hal yang berbeda. Entah apa itu, tapi seperti yang aku katakan tadi…… segalanya tak lagi sama. Tidak akan pernah sama.
Tanggal 14 Februari, hari kasih sayang. Seistimewa apa hari kasih sayang itu? Bahkan aku sendiri tidak yakin apakah rasa kasih sayang itu masih ada dalam keluargaku…. Masihkah? ataukah perasaan itu sudah hilang dibawa sang waktu? Aku tidak tahu. Jika memang perasaan itu telah pergi, aku akan membawanya kembali ke tengah keluargaku.

Di antar oleh sahabatku, sore itu sepulang sekolah dengan perasaan senang sambil terus berharap rencana akan berjalan lancar, aku pergi membeli bunga mawar dengan uang saku terakhirku. Lagi-lagi hal ini kulakukan demi ‘kasih sayang’ yang kini entah berada sejauh apa dari keluargaku… Tanpa penjelasan panjang aku meminta ayah untuk memberikan bunga itu kepada ibu, namun saat itu juga ibuku masuk ke dalam rumah. Tidak ingin membuat ibu curiga, aku berikan bunga itu kepada ibu. Seketika segenggam harapanku mulai lepas. Rencana yang kususun sejak pagi hancur begitu saja, seharusnya tidak seperti ini segalanya berakhir. Aku menangis di dalam kamar. Ku ambil handphone ku dan mulai mengetik pesan………









To : Ayah

                Yah… minta uang buat beli bunga lagi…… sekarang hari kasih sayang. pokoknya ayah harus kasi bunga buat ibu…




From : Ayah

                Buat apa beli bunga? Ndak usah kayak gitu-gituan.



To : Ayah

                Ayah tu ya… tadi tu seharusnya ayah yang kasi bunga. Tapi ibu keburu masuk. aku kayak gini tu biar ayah gak berantem lagi sama ibu. Aku juga capek lo yah denger kalian berantem terus. Gak kasian apa ya sama anak-anaknya. Bunga lo cuma 5rb yah….




From : Ayah

                Yaudah ambil uang 100 di dompet sana. Pakek beli bunga sama martabak.
 





Ayahku luluh. Dibandingkan dengan adikku memang akulah yang paling dekat dengan ayah. Tanpa membuang waktu aku bergegas membeli bunga…. dan martabak (yang sebenarnya tidak begitu penting). Seketika harapan yang tadi hilang kini mulai tampak lagi. Meskipun sedikit canggung, ayah tetap memberikan bunga itu untuk ibu. Segalanya berjalan sesuai harapan. Tuhan memang penuh dengan kasih sayang, doaku begitu cepat dikabulkan oleh-Nya……
                Betapa bahagianya aku… memang tidak banyak yang dapat aku lakukan. Aku hanya berharap dapat mengembalikan perasaan kasih sayang itu di tengah keluargaku. Dan untuk saat ini hal itu berhasil.

»»
Dengan segenap hatiku aku selalu berharap Tuhan akan menjaga keluargaku tetap utuh. Segalanya tidak hanya untuk ku, tidak hanya untuk adikku, atau untuk kedua orang tuaku. Melainkan untuk keluarga kami….
Dengan segenap hati pula aku berharap Tuhan akan selalu menjaga keluarga-keluarga lain di luar sana agar tetap utuh….
Masih dengan segenap hatiku….. tak pernah berhenti aku berharap untuk anak-anak broken home di luar sana, agar Tuhan selalu menjaga dan melindungi kalian. Serta mengarahkan jalan yang terbaik untuk kalian…..

»»

Akankah melampiaskannya dengan mempertaruhkan masa depan? Atau…… Tetap menjadi anak yang membanggakan di tengah keluarga yang berantakan? Siapa yang tahu? 

»»»




(Oleh : Kiki Ofia Lestari)